Tema : Problematika Kebangsaan dari Perspektif
Agama
Nama : Riswandi
Prodi : PPKN
Kebangsaan, Islam dan Nasionalisme
Negara Indonesia terdiri dari ribuan pulau, ratusan suku bangsa,
negara Indonesia merupakan negara majemuk, dengan beranekaragam budaya, agama,
bahasa, namun dari banyaknya perbedaan tersebut tetap bisa menjadi satu
kesatuan, seperti semboyan NKRI yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang berarti
berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Dalam era globalisasi, Indonesia telah mengalami banyak perubahan, perubahan
yang dimaksud adalah perubahan dalam persatuan dan kesatuan, perlahan-lahan
semboyan yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia sudah mulai
luntur, banyaknya kejadian seperti perkelahian, konflik antara mayarakat,
tawuran warga, bullying, konflik antar suku. Konflik agama di
tengah-tengah masyarakat. Dengan banyaknya kejadian-kejadian tersebut
menunjukkan bahwa Indonesia sedang darurat persatuan.
Kejadian-kejadian tersebut dapat dirasakan dan dihadapi oleh
masyarakat karena adanya pengaruh dari penguasa, penguasa itu adalah negara
barat, dengan berbagai cara dari mereka, mereka menjajah Indonesia melalui
pemikiran, bukan lagi dari fisik, masyarakat Indonesia dituntut untuk
mengkonsumsi produk-produk dari luar, tanpa disadari dengan menggunakan produk
dari luar maka akan semakin menambah kesempatan mereka untuk menguasai
Indonesia.
Adanya konflik, persitiwa dan kejadian-kejadian itu merupakan
takdir dari Tuhan, problematika yang terjadi di Indonesia merupakan
problematika kebangsaan yang krusial, yang harus segera diselesaikan, namun
yang paling krusial adalah problematika kebangsaan yang terkait dengan agama,
apalagi baru-baru ini terjadi penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, kasus
ini masih bergulir di pengadilan, namun penulis ingin melihat dari sisi lain
dari kasus terebut bahkan di lihat dalam konteksnya secara umum, terkait dengan
penistaan agama menjadi probematika tersendiri bagi bangsa Indonesia, berbicara
soal agama memang merupakan suatu yang sensitif, karena agama adalah urusan
tiap-tiap individu, bahkan dalam UUD 1945 juga disebutkan tentang hak untuk
memeluk agama. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
(UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2)
Berbicara tentang problematika kebangsaan dari perspektif agama,
maka akan terkait juga dengan hubungan Islam dan nasionalisme, di Indonesia,
dimana mayoritas penduduknya adalah muslim telah lama terjadi dikursus tentang
hubungan islam dan nasionalisme. Ada yang mencoba mengaitkan atau setidaknya
mencari hubungan di antara keduanya. Bahkan ada pula yang mempertentangkan
keduanya. Adapun untuk mendapatkan gambaran komprehensif tentang hubungan islam
dan nasionalisme, menurut Imam Hasan Al-Banna yang menurut penulis masih sangat
relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini, dimana diantaranya beliau
menguaraikan bahwa apabila yang dimaksud dengan nasionalisme adalah
kerinduan/keberpihakan terhadap tanah airnya (nasionalisme kerinduan), atau
keharusan berjuang membebaskan tanah air dari imperialise (nasionalisme
kehormatan dan kebebasan) atau memperkuat ikatan kekeluargaan antar
masyarakatnya (nasionalisme kemasayarakatan), atau membebaskan negeri-negeri
lain, (nasionalisme pembebasan), hal-hal
tersebut merupakan sesuatu yang fitrah dan dapat diterima bahkan ada yang
dianggap sebagai kewajiban. (Adhyaksa Dault :
2003) Sebaliknya apabila nasionalisme itu adalah dimaksudkan untuk memilah umat
menjadi kelompok-kelompok sehingga mereka menjadi berseteru satu sama lain,
kemudian umat diekploitasi untuk memenuhi ambisi pribadi (nasionalisme
kepartaian), maka itu pasti nasionalisme palsu yang tidak akan memberikan
manfaat sedikitpun.
Nasionalisme yang memberikan manfaat adalah nasionalisme yang lahir
dari dalam hati, lahir secara ikhlas dan tulus, tidak terpaksa karena suatu
ikatan, dalam agama ikhlas adalah sesuatu yang dijalankan tanpa paksaan dan
tanpa intimidasi, ikhlas adalah kemurnian hati untuk menjalankannya. Dalam
konsep kebangsaan, nasionalisme dipandang sebagai rasa cinta tanah air, bangsa
yang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi akan memertahanakan bangsa dan
negaraya, dari rasa cinta tersebutlah lahir jiwa patriotisme, bangsa yang
berjiwa patriotisme akan membela tanah airnya dari segala macam gangguan.
Belakangan ini perbincangan masalah nasionalisme dalam perspektif
dakwah merupakan hal yang sangat jarang dilakukan. Akibatnya, banyak aktivis
islam yang membuat jarak terhadap permasalahan ini, sehingga kontribusi mereka
terhadap bangsa yang didiami menjadi tidak begitu besar. Umumnya mereka merasa
rezim, sistem, dan tanah air adalah sesuatu yang pantang didekati karena tidak
megikuti syariah Allah. Masalah berikutnya yang muncul akibat antipati seperti
ini adalah aset nasional dikuasai orang lain yang sama sekali tidak peduli
dengan keutuhan dan kejayaan bangsa. Bahkan penguasaan total umat islam,
kekuatan militer, ekonomi, dan lainlain dikuasai orang lain tanpa rasa malu.
Nasionalisme, Pluralitas, dan Demokrasi
Di luar masalah KKN, masalah pluralisme dan integrasi nasional
masih mengemuka. Adalah suatu kenyataan bahwa masyarakat Indonesia terbagi
dalam berbagai kesukuan, keagamaan dan kedaerahan. Namun ketika segmentasi
horizontal tersebut berubah menjadi kesadaran sejarah, sistem nilai budaya, pengelompokan
sosial, dan kepentingan kelompok yang saling berbeda, maka masalahnya menjadi
lain. Lebih dari sekedar untuk dapat disebut sebagai kenyataan, melainkan telah
menjadi potensi konflik. Tidak mudah mengatasi konflik horizontal karena pada
dasarnya kesukuan, keagamaan dan kedaerahan merupakan faktor yang bersifat
tetap(fixe) dan kefaktaan yang membatasi. (Samuel Koto : Pluralitas dan
Demokrasi : 2002)
Yang disebut konflik juga tidak linear, seolah-olah hanya terjadi
secara antar suku, antar agama, dan antar daerah. Dengan pengecualian di Poso
dan Maluku yang diwarnai oleh konflik antar agama, tidak demikian halnya yang
terjadi di daerah konflik lain. Di Aceh yang berpredikat Serambi Mekkah, orang
Aceh membunuh dan mengusir orang islam, hanya karena dia pendatang atau
transmigran dari Jawa. Di Kalimantan bukan hanya suku Dayak Kristen yang
membunuh dan mengusir etnis Madura yang seratus persen Muslim, melainkan juga
suku Dayak Melayu yang islam ikut berkolaborasi dalam Dayak Raya. Yang paling
unik terjadi di tanah Papua setelah muncul apa yang yang disebut dengan
Presidium Dewan Papua(PDP) justru konflik menjadi tidak terkendali. Globalisasi
konflik-konflik itu memperberat persoalan yang kita hadapi sebagai suatu
bangsa. Lagi-lagi nasionalisme dan globalisasi menjadi titik temu dalam
penghadapan antara kekuatan internasional versus nasional, celakanya
sebagaimana kita tahu, globalisme telah cenderung merontokkan negara bangsa
yang tidak sanggup bersaing dalam percaturan global.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi di semua daerah konflik selain
tentang peranan pemerintah adalah security treatment yang dengan mudah
menjadi armed attack. Kegagalan sistem politik dan pemerintahan dalam
penyelenggaraan pembangunan dan keamanan merupakan sejarah masa lalu yang amburadul,
dan sejarah masa depan yang sama sekali belum menunjukkan tanda perbaikan yang
berarti. Bahkan dalam beberapa kasus, misalnya pembunuhan terhadap Theys H
Eulay, pemerintah cenderung gagap, melatarbelakangi konflik bukan berpusar pada
entitas pluralitas masyarakat, melainkan pada itu tadi compang-campingnya
sistem politik dan pemerintahan dalam penyelenggaraan pembangunan.
Krisis Nasionalisme, Krisis Kebangsaan
Petikan pandangan Prof. Dr. A. Syafii Ma’arif di atas cukup
merefleksikan betapa kita mengalami krisis nasionalisme, krisis kebangsaan,
setidaknya kita mengidap ambivalensu dan ambiguitas tentang nasionalisme yang
di masa lalu mampu menggerakkan rakyat untuk mencapai Indonesia merdeka. Bahwa
ada kekhawatiran, nasionalisme menjadi usang oleh dominasi kapitalisme dan
sebagian akibat formalisme paham kebangsaan oleh era demokrasi terpimpin dan
orde baru di masa lalu.
Dewasa ini, nasionalisme dan nasionalitas di Indonesia menjadi
fokus analisis para intelektual di dalam dan di luar negeri. Salah satu
analisis barat, belum lama ini, Prof. Dr. Robert I Rotberg, Direktur Program
Konflik John F Kennedy School of Goverment, Harvard University, AS, menegaskan
bahwa krisi multidimensi di Indonesia membutuhkan solusi yang efektif dan dan
cepat, bagi Indonesia, sangat penting memiliki para pemimpin yang kuat, visoner
dan legitimate. Ketiganya merupakan suatu keharusan, sebagai conditio
sine qua non mengingat Indonesia saat ini berada dalam zona bahaya atau
zona merah dari sebuah negara bangsa lemah yang bergerak menuju negara yang
gagal.
Dalam pandangan Rotberg, Indonesia akan selamat dan terlindung dari
bahaya menjadi negara bangsa yang gagal, apabila memiliki kepemimpinan yang
kuat dan visioner serta ada komitmen untuk membantu Indonesia dalam bidang
ekonomi dan rekonstruksi sosial, khususnya dalam upaya penegakan hukum (Kompas,
28 Maret 2002). Rotberg juga berpendapat bahwa Indonesia akan menghadapi
masa-masa sulit dalam beberapa tahun mendatang dan memerlukan kepemimpinan yang
berbobot dan kuat untuk menghindari terjadinya negara gagal dalam disintegrasi.
Persoalan yang serius yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini
adalah perekonomian yang lemah, gerakan separatisme Aceh dan Papua, serta
konflik sosial. Ada kekhwatiran konflik berlatar belakang perbedaan etnis,
agama atau bahasa akan berkembang di daerah-daerah lain tanpa sebab yang jelas.
Disini perlunya penguatan pemerintah berdasarkan aturan desentralisasi tanpa
perpecahan sekliagus penguatan nilai-nilai politik secara nasional. Pemerintah
Indonesia harus beradab dan beragama untuk menyelesaikan konflik kebangsaan,
ini terkait dengan hati nurani rakyat Indonesia, ini bukan persoalan biasa,
umat islam sakit hati dengan penistaan ini, maka perlu dilakukan proses hukum
yang jelas dalam konflik ini (Aa Gym dalam acara Indonesia Lawyer Club).
Indonesia memiliki keuntungan adanya sentimen nasional yang kuat tetapi
sekaligus memiliki sumber-sumber yang potensial menciptakan instabilitas
politik atau ekonomi. Oleh karena itu perlu ada kepemimpinan yang kuat dan
visioner. Ada empat kategori negara bangsa yakni negara bangsa yang kuat,
lemah, gagal dan runtuh.
Fenomena kegagalan negara bukanlah hal yang baru di dunia setelah
keruntuhan Uni Soviet, dari jumlah 192 negara yang berada dalam transisi
demokrasi, diantaranya banyak yang lemah dan menghadapi bahaya menuju
kegagalan. Negara-negara yang gagal cenderung menghadapi konflik yang
berkelanjutan, tidak aman, kekerasan komunal, maupun kekerasan negara sangat
tinggi, permusuhan karena etnik agama ataupun bahasa, teror, jalan-jalan atau
insfrastruktur fisik lainnya dibiarkan rusak.
Indonesia bukanlah salah satu negara gagal, namun Indonesia adalah
negara yang terancam gagal, dalam tata pemerintahannya, Indonesia mulai
menghadapi krisis nasionalisme, dimana bangsa Indonesia sendiri sudah mulai
bergeser ke arah barat, remaja sudah mulai mengikuti gaya kebarat-barata, dari
pakaian dan gaya hidup. Krisis nasionalisme yang dihadapi Indonesia saat ini
berdampak terhadap dinamika politik, dinamika politik yang berjalan saat ini
tidak stabil, pemerintah cenderung tidak peduli dengan permasalahan bangsa,
saat ini pemerintah sibuk mengurusi urusan pribadi, padahal banyak sekali
urusan kebangsaan yang belum diselesaikan. Yang menjadi titik permasalahan saat
ini adalah persatuan bangsa Indonesia yang terancam hancur, dari banyaknya
kejadian dan permasalahan dalm bidang agama, menjadikan bangsa Indoensia
terpecah.
Kasus kegamaan seolah menjadi kasus pokok yang bisa menghancurkan
bangsa Indonesia, apalagi di Indonesia memiliki beberapa daerah otonom yang
sifatnya istimewa, ini sangat rentan untuk keluar dari Indonesia dan membentuk
negara baru, hanya karena kasus agama yang dinistakan, agama menjadi pedoman
dan kepercayaan setip orang, dalam krisis kebangsaan yang dialami Indonesia
adalah konflik antar agama adalah pemicu utamanya. Beberapa kalangan ustadz dan
ulama saling melakukan pertemuan untuk menyelesaikan konflik agama yang
terjadi. Namun kadangkala pertemuan para tokoh agama kerap kali menjadi ajang
pencitraan semata dan untuk kepentingan politik mereka. Apalagi di musim
pilkada seperti saat ini. Tidak jarang setiap orang melakukan pencitraan untuk
memenangkan salah satu pasangan calon yang didukungnya.
Ancaman Transisi Demokrasi
Bangsa Indonesia yang kini sedag mengalami proses transisi demokrasi, benar-benar sedang
berada dalam situasi kritis karena kini kita tepat berada di persimpangan jalan
keselamatan atau jalan kehancuran. Bila proses transisi ini tidak dapat kita
lalui dengan baik, demikian sosiolog Imam Prasodjo, ancaman yang kita hadapi
tidak saja proses disintegrasi bangsa, tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah
kemungkinan terjadinya proses disintegrasi sosial atau hancurnya social bond
(kerekatan sosial) dalam masyarakat. Bila social bond hancur, akan
tumbuh social distrust (iklim tidak saling mempercayai) diantara
kelompok-kelpmpok sosial, sehingga kelompok satu dengan yang lain dalam
masyarakat akan saling curiga, saling bermusuhan, atau bahkan saling berupaya
meniadakan. Dalam situasi ini, menurut Imam Prasodjo, tawuran massal gaya
Thomas Hobbes, war of all against all, bukan lagi menjadi khayalan. (Imam B.
Prasodjo, The End of Indonesia? (Kompas,
20 Desember 2002)
Situasi yang penuh pertentangan diantara masyarakat itu dinamakan state
of nature dimana manusia saling
bersaing dan berkompetisi tanpa aturan dan ketiadaan hambatan atau restriksi
untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, bahkan jika perlu membunuh dan
penghalalan terhadap segala cara lainnya atau paling tidak menguasai orang
lain. Pada tataran abstraksi ini, manusia dipandang sebagai serigala yang
saling berkelahi untuk mendapatkan kebebasan atau makanan bagi dirinya. Jadi
aturan yang adapun hanya dipergunakan agar tidak terjadi tindakan yang mungkin
menghancurkan diri sendiri.
Gerakan Islam : Respons atas Hegemoni Barat
Munculnya gerakan-gerakan islam modern dengan segala bentuknya yang
beragam, menurut Bruce B. Lawrence, mantan Presiden Masyarakat Amerka untuk
studi agama, merupakan “pola interaksi antara eropa dan dunia islam”.
Perkembangan terbaru dalam interaksi itu dimulai dengan ekspansi kolonial eropa
barat pada abad ke-18 dan 19 yang awalnya menimbulkan reaksi defensif dan
sekarang berkembang menjadi aksi-aksi ofensif. (Lawrence. Bruce B. Menepis
Mitos : Islam di Balik Kekerasa : Jakarta :Serambi Ilmu Semesta, 2000 : Hal
71). Kekuatan kolonial eropa ini kemudian berkembang menjadi “imperalisme”.
Amerika Serikat yang menjelma sebagai representasi barat. Jadi barat adalah
obyek laan yang berhadapan dengan dunia/gerakan islam. Oleh karena itu
perkembangan gerakan islam akan terus meningkat seiring kerasnya dominasi,
globalisasi, dan intervens barat barat pada dunia islam. Secara hipotetik,
dapat dinyatakan semakin tinggi tingkat hegemoni barat maka semakin tinggi pula
resistensi gerakan islam pada tingkat global. Inilah yang kemudian disebut oleh
Bassam Tibi, cendekiawan islam yang tinggal di Jerman, secara naif sebagai
pencipta kekacauan baru dunia. (Tiara: Ancaman Fundamentalisme Wacana, Rajutan
Islam Politik dan Kekacauan Dunia Barat : Jakarta. 2000).
Benjamin Barber secara simplistis menamakan fenomena dan
gerakan-gerakan reaktif menentang globalisasi dengan istilah “Jihad vs Mc
World”. Fenomenda “jihad” disini tidak hanya dipakainya untuk menggambarkan
resistensi dari kelompok-kelompok fundamentalis islam, namun segala bentuk
resistensi terhadap globalisasi. Berbeda dengan Huntington yang melihatnya
dalam konteks clash of civilizations, ia beranggapan bahwa peperangan jihad
menentang Mc World bukan sebuah benturan peradaban. Hal itu merupakan sebuah
ekspresi dialektis dari ketegangan-ketegangan yang dibangun ke dalam sebuah
peradaban global tunggal ketika ia muncul dengan perpecahan agama dan etnik
tradisional sebagai latar belakangnya, yang kebanyakan sesungguhnya diciptakan
oleh Mc World dan industri infotainment serta inovasi teknologinya sendiri
(Benjamin R. Barber, Jihad v MC World : Fundamentalisme, Anarkisme Barat dan
Benturan Peradaban : Surabaya : Pustaka Promethea : 2002)
Berbicara tentang islam, meskipun Barber yang sama sekali bahwa
islam adalah sebuah agama kompleks yang sama sekali tidak sinonim dengan jihad,
namun menurutnya islam relatif tidak ramah terhadap demokrasi. Ketidakramahan
ini sebaliknya menyuburkan kondisi-kondisi yang mendukung parokialisme,
antimodern, eksklusivitas, dan permusuhan kepada yang lain.
Pernyataan Barber di atas senada dengan yang diutarakan Huntington,
bahwa islam berpotensi menghambat demokrasi. Mengutip Gellner, terdapat argumen
bahwa “wujud kebudayaan luhur islam mengandung sejumlah ciri menonjol yang
positif; faham keesaan Tuhan, etika kekuasaan, individualisme, ketaatan pada
kitab suci, puritanisme, penolakan yang bersifat egaliter terhadap meditasi dan
hierarki, muatan magis yang cukup kecil, yang kesemuanya sesuai dengan
persyaratan bagi modernitas atau modernisasi. Namun, tegas Huntington, islam
juga menolak pembedaan antara komunitas agama dan komunitas politik. Islam
fundamentalis menuntut bahwa dalam sebuah negeri muslim, para penguasa politik
seharusnya adalah muslim yang taat, syariat seharusnya merupakan hukum
dasarnya, dan ulama seharusnya memiliki suara yang menentukan dalam
mengartikulasikan, atau sekurang-kurangnya meninjau dan meratifikasi semua
kebijakan pemerintah jadi doktrin islam mengandung unsur-unsur yang sesuai
maupun yang tidak sesuai dengan demokrasi.. (Samuel P. Huntington, Gelombang
Demokratisasi Ketiga(terj.), Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1995) Hal. 396)
Lebih jauh lagi, Huntington menilai bahwa maslaah bagi barat
bukanlah fundamentalisme islam, tetapi islam, sebuah peradaban berbeda yang
didukung oleh orang-orang yang meyakini superioritas kebudayaan mereka dan
terobsesi dengan lemahnya kekuatan mereka. Sebaliknya masalah bagi islam
bukanlah CIA atau departemen pertahanan AS, melainkan barat, sebuah peradaban
berbeda yang didukung oleh orang-orang yang yakin pada universalitas kebudayaan
mereka dan percaya bahwa mereka superior, jika melemah kekuatan memaksa mereka
menjalankan kewajiban untuk mengembangkan kebudayaan mereka ke seluruh dunia.
Kaum fundamentalis memandang bahwa memahami agama secara mengakar
jauh lebih penting sebelum membuat rencana aksi yang cenderung bersifat
kekerasan. Penyeragaman pandangan terhadap komunitas yang memberikan respon
terhadap modernisasi, pemerintahan sekuler dan budaya barat ke dalam sebutan
fundamentalis sesungguhnya merupakan sebuah penyederhanaan yang berlebihan.
Spektrum dunia pergerakan islam sesungguhnya menyimpan warna-warna yang kaya dalam
khazanah yang cukup plural. Tidak semua kalangan yang kritis terhadap Amerika
Serikat, Israel, budaya barat, materialisme kapitalisme, isu-isu feminisme, hak
asasi manusia dan demokrasi dapat dikategorikan sebagai kaum fundamentalis.
Kaum radikal islam yang bangkit dengan garis yang berbeda, bahkan
secara diametral berlawanan dengan fundamentalis adalah taksonomi pergerakan
islam yang mesti dilihat secara berhati-hati. Adanya fakta bahwa
fundamentalisme telah muncul dalam ledakan-ledakan kecil dan besar di semua
budaya (budaya agama monotheis, maupun politheis) mengindikasikan sebuah
kekecewaan yang meluas terhadap masyarakat modern dimana banyak dinatara kita
malah merasakannya sebagai sesuatu yang membebaskan, menyenangkan dan
memberdayakan.
Proyek-proyek yang secara kasat mata dipandang baik oleh kaum
liberal, dimana kaum radikal islam juga termasuk di dalamnya seperti demokrasi,
penciptaan perdamaian, kepedulian terhadap lingkungan, pembebasan wanita atau
kebebasan berbicara dapat dipandang buruk, bahkan haram oleh kaum
fundamentalis.
Kaum fundamentalis seringkali mengekspresikan dirinya secara
kekerasan, tetapi kekerasan itu adalah cara atau jalan yang paling sederhana
yang memancar dari ketakutan mereka yang mendalam akan hancurnya komunitas,
tradisi, nilai dan budaya yang mereka anggap luhur.
Setiap gerakan kaum fundamentalis yang pernah diteliti, terdapat
sebuah ketakutan irasional akan proses penghancuran terhadap mereka secara
sistematis. Menurut Scott Appleby, kemapanan kaum sekuler bertujuan untuk
menghapuskan keberadaan mereka sebagai kaum beragama dari muka bumi ini,
sekalipun itu di Amerka Serikat sendiri. Kaum fundamentalis yakin bahwa respon
mereka secara kekerasan adalah sebentuk perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan
yang telah menakut-nakuti mereka selama ini. Kaum fundamentalis percaya bahwa
mereka selama ini melawan demi mempertahankan agama dan mempertahankan
masyarakat yang beradab.
Karen Armstrong, dalam tulisannya tentang biografi rasul Muhammad
mengingatkan tanggung jawab barat/AS terhadap munculnya bentuk radikalisme baru
islam, yang dalam pengertian tersembunyi akan bangkit secara tiba-tiba seperti
dalam fantasi-fantasi lama masyarakat barat. (Karen Armstrong, Muhammad. A
Biography of The Prophet, Gutternberg Project :2000). Sekarang banyak
masyarakat dalam komunitas dunia islam yang menolak persepsi bahwa barat
sebagai tak bertuhan, tidak adil dan dekaden. Kaum islam radikal baru tidaklah
sesederhana kaum fundamentalis yang membenci barat. Bagaimanapun, kaum radikal
baru islam tidak merupakan gerakan yang homogen. Muslim radikal pada pokoknya berupaya
meletakkan rumah mereka sendiri dalam suatu tata aturan yang berbeda sesuai
dengan yang mereka persepsikan. Tidak sebagaimana kaum fundamentalis yang
mengidap dislokasi kultural yang parah, kaum radikal juga merasa nyaman dengan
zaman modern.
Mustahil untuk menggeneralisasikan bentuk-bentuk ekstrim kelompok
agam, karena mereka bukan hanya berbeda tiap-tiap negara, tetapi juga berbeda
antara tiap-tiap kota bahkan tiap-tiap kampung atau desa. Hanya sebagian kecil
saja dari kelompok fundamentalis yang setia dengan aksi-aksi teror, sementara
banyak kaum radikal islam bahkan sangat bersahabat, menginginkan perdamaian,
berpengharapan pada hukum dan tata aturan dan menerima nilai-nilai positif dari
masyarakat modern. Jika kaum fundamentalis tidak pernah punya waktu untuk
berbicara tentang demokrasi, pluralisme, toleransi beragama, penciptaan,
perdamaian, kebebasan individu atau pemisahan antara agama dan negara, maka
komunitas lainnya bahkan yang radikal sekalipun justru menganggap semua itu
adalah sublimasi nilai-nilai agama dan bahasa profan.
Nasionalisme Religius
Nasionalisme merupakan solusi terbaik meng-counter wabah
disintegrasi bangsa sebab ikatan dan kesadaran sebagai suatu bangsa yang memiliki
persamaan sejarah dan perjuangan akan membentuk suatu ikatan identitas dan
emosional yang kuat. Sebagai bangsa yang
religius tentunya nasionalisme Indonesia tidak akan terlepas dari nilai-nilai
spiritual. Dewasa ini di Indonesia, isu mengenai nasionalisme semakin memudar.
Indikasi ini terlihat dari fenomena yang berkembang pada tataran masyarakat
bawah (grass root) terutama pada generasi muda sedikit sekali dari
mereka yang mereka makna nasionalisme, terlebih mengaplikasikan nilai-nilai
nasionalisme dalam kehidupan keseharian dalam bingkai kebangsaan.
Komposisi Indonesia sebagai bangsa yang besar, baik dari segi luas
wilayah negara, ragam agama, multi kultur dan multi etnis meniscayakan
terbangunnya nasionalisme secara kokoh. Kondisi yang sangat rentan terebut
diperparah dengan semakin membuminya globalisasi dunia membuat jajak geografis
antar negara semakin tipis yang jika tidak diwaspadai dan diambil tindakan
preventif sedini mungkin, dapat berimbas hilangnya identitas suatu masyarakat
bahkan bangsa. Nasionalisme kini seakan menjadi barang langka yang hanya dapat
dijumpai dalam suatu diskusi, seminar dan pembicaraan akademik lainnya tetapi
itupun hanya terbatas dalam suatu perdebatan dan wacana tanpa tindak lanjut.
Banyak faktor yang turut mempengaruhi kondisi memudarnya semangat nasionalisme.
Faktor globalisasi dituding menjadi salah satu sebab yang paling mempengaruhi
dan bertanggung jawab atas kondisi mereduksinya nilai-nilai nasionalisme dalam
suatu bangsa. Globalisasi telah memudarkan batas geografis, demografis serta etnografis
antara satu negara dengan negara lainnya.
Kekhawatiran sebagian masyarakat Indonesia terhadap munculnya
kembali ideologi komunisme/Marxisme-Leninisme di Indonesia menyebabkan kembali
terangkatnya wacana tentang nasionalisme religius dalam kancah politik
Indonesia. Sebagian besar rakyat Indonesia memang tidak menghendaki
ajaran-ajaran komunis dihidupkan lagi. Namun, sebagai sebuah wacana
intelektual, kita tidak boleh begitu saja mengharamkan segala sesuatu yang
memiliki dampak negatif secara praktis. Artinya, dalam tataran teoritis,
ajaran-ajaran komunisme/Marxisme –Leninisme semestinya boleh saja dipelajari
sebagai sebuah wacana intelektual-ilmiah yang bisa membantu masyarakat
memperluas cakrawala pemikiran yang semakin mencerdaskan dan mendewasakan bangsa
Indonesia.
Komunisme tentu saja harus dilarang kalau sudah dijadikan sebagai
ideologi dan gerakan, karena ketiganya tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia
yang umumnya menganut agama sesuai dengan keyakinannya. Karena itu, politik
Indonesia diharapkan menjadi sebuah politik yang tetap diwarnai nilai-nilai
spiritual-keagamaan, politik yang tidak sepenuhnya terlepas dari koridor moral
dan nilai-nilai ketuhanan yang menjadi landasan dan dasar ideologi negara.
Upaya ini hendaknya tidak dilihat sebagai pemolitikan agama yaitu menjadikan
isu-isu agama sebagai komoditas politik untuk memperoleh kekuasaan dan
semacamnya, tetapi lebih pada pengagamaan politik, yaitu upaya menjadikan agam
sebagai pengawas para pelaku politik agar tidak terjebak dalam politik Machiaveliansme
yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Nation (bangsa)
mempunyai dua pengertian yaitu, dalam pengertian antropologis/sosiologis dan
politis. (Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme (Ciputat :
Logos, 1999) Hal 57). Dalam pengertian antropologis/sosiologis, bangsa adalah
suatu masyarakat yang merupakan suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri
dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa satu kesatuan ras,
bahasa, agama, sejarah dan adat istiadat. Nasionalisme politik masyarakat dalam
suatu daerah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai
suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam.
Nation dalam
pengertian politik ilmiah yang kemudian merupakan pokok bahasan tentang
nasionalisme. Tetapi nation dalam pengertian antropologis tidak dapat
begitu saja ditinggalkan atau diabaikan, sebab ia memiliki faktor obyektif.
Meskipun bukan merupakan hal pokok, namun sering menentukan bagi terbentuknya
bangsa dalam pengertian politik. Jadi, dalam kedua pengertian bangsa itu, ada
kaitan yang sangat erat dan penting. Menurut Otto Bauerdari Austria,
nasionalisme adalah kebersamaan demikian menumbuhkan suatu persatuan dan
kesatuan bangsa,. Bangsa meurutnya adalah sautu character gemeinschaft, suatu
persamaan watak, dan persamaan watak itu tumbuh karena ada suatu schicksalgameinschaft
yaitu suatu perasaan nasib yang telah dialami bersama. (Roeslan Abdulgani, Pancasilaa
Perjalanan Sebuah Ideologi (Jakarta : Grassindo, 1998) Hal ; 122).
Dalam perkembangannya, konsepsi kebangsaan negara-negara barat yang
notabene menganut paham sekuler ternyata tidaklah benar sepenuhnya, dimana
nilai-nilai kegamaan masih sangat kental ditemukan disana. Dalam fenomena
kekinian, terindikasi bahwa kondisi tersebut semakin menguat. Semua di atas
jika ditari ke belakang maka tidak akan terlepas dari semangat barat dalam
menyebarkan dan mengumandangkan gold, glory and gospel. Begitupun dengan
bangsa-bangsa timur, tumbuh dan berkembangnya jiwa nasionalisme memang dapat
dikatakan sebagai effect dari
adanya kolonialisasi dan imperialisme barat, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa
semangat dan nilai-nilai keagamaan mempunyai andil dan peran yang sangat
signifikan yang menjadi api sekaligus bahan bakar perjuangan mebebaskan bangsa
melawan penjajahan. Kondisi tersebut menjadi perbincangan untuk diangkat dalam
persoalan nasionalisme di Indonesia khususnya menyangkut nasionalisme religius
yang memang kiranya lebih inklusif dan sesuai dengan karakteristik masyarakat
Indoenesia yang religius tanpa terlepas dari keyakinan masyarakat Indonesia
yang beragam. Pemahaman dan penjiwaan nasionalisme sudah sepatutnya mengalami
rekonstruksi agar mampu menghadapi tantangan globalisasi yang semakin
meretaskan batas-batas sosiokultur dan geografis negara-negara bangsa saat ini.
Nasionalisme dalam agama dipandang sebagai turunan dari ideologi
Pancasila yang kemudian melahirkan satu paham nasionalis religius dalam tata
perpolitikan bangsa Indonesia, tidak dapat menjadi satu ideologi baru yang
bertentangan dengan falsafah pancasila.
Persoalan bangsa kita ke depan adalah bagaimana mengelola
kemajemukan agar menjadi faktor eskalator terbangunnya kebersamaan bangsa
menuju kesatuan politik. Dari sini proses nation building menjadi agenda penting yang
harus dibina dan ditumbuhkembangkan. Soekarno, misalnya membangun rasa
kebangsaan dengan membangkitkan sentimen nasionalisme yang menggerakkan suatu
itikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa mereka itu adalah satu golongan, satu
bangsa. Mohammad Hatta juga menekankan rasa kebangsaan ada keinsyafan persamaan
nasib dan tujuan, serta keinsyafan sama seperuntungan.
Dengan demikian, proses pemersatuan bangsa dalam suatu negara,
seperti diungkap Coleman dan Rosberg, mesti didasarkan pada dua dimensi,
pertama, integrasi vertikal bertujuan untuk menjembatani celah perbedaan yang
mungkin ada di antara elite dan massa dalam rangka pengembangan suatu proses
politik terpadu dan masyarakat politik yang berpartisipasi. Kedua, integrasi
horizontal yang bertujuan mengurangi diskontinuitas dan ketegangan kultur
kedaerahan menuju masyarakat politik yang homogen untuk membangun masa depan
negeri ini dengan label reformasi yang
menghargai dan mengakui pluralitas, diperlukan penataan kembali komitmen
kebangsaan melalui pematangan budaya dan integrasi. Upaya ini, pada dasarnya
berkaitan dengan penciptaan rasa kebersamaan, yang antara lain bisa tercipta
ketika sistem politik mampu mengalirkan kepuasan kepada masyarakat. Komitmen
kebangsaan bukanlah suatu yang secara taken for granted tersedia.
Karenanya proses nation building harus berjalan terus. Dengan demikian kepada
cita-cita masyarakat demokratis yang akan menciptakan bangunan dasar negara
bangsa yang modern.
Konsep nasionalisme raligius (berlandaskan nilai-nilai keislaman) tidak hanya berada pada tataran teoritis melainka
harus ada upaya pengkontekstualisasian dalam kehidupan nyata. Jangan hanya
gagasan-gagasan atau wacana –wacana kosong yang tanpa arti dan tidak membawa
efek kemajuan bangsa Indonesia. Semangat kebangsaan yang berlandaskan kepada
spirit keagamaan kira-kira harus terus dibumikan di bumi Indonesia yang
religius.
Penghayatan akan spirit keagamaan kiranya tidak hanya ada pada
tataran kaum ulama atau cendekiawan, tetapi harus diejawantahkan dalam perilaku
para elit dan pemimpin bangsa Indonesia ke depan guna membangun masa depan
Indonesia yang lebih baik, sehingga cita-cita baldatun thayyibatun wa rabbun
ghafur (negeri yang baik dan penuh ampunan Tuhan) dapat terwujud.
Pergerakan Dakwah dan Politik
Perkembangan dunia dakwah di Indonesia pernah mengalami pasang
surut pada zaman orde baru yang dipimpin oleh presiden Soeharto. Hingga akhir
tahun 1980-an rakyat Indonesia terutama umat islam mengalami gangguan ketika
menjalankan aktivitas beragamanya, yaitu kebebasan berdakwah serta kebebasan
untuk mengemukakan pendapatnya. Masa itu merupakan masa yang kelam bagi
perkembangan dakwah islam. Apalagi bila dakwah itu berisi kritikan terhadap
kekuasaan.
Pengertian dakwah secara semantik perkataan dakwah berasal dari
bahasa arab, yaitu da’a –yad’u. Yang artinya mengajak, mengundang atau
memanggil. Kemudian menjadi kata da’watun yang artinya panggilan, undangan atau
ajakan. Istilah lain yang identik dengan kata dakwah ialah tabligh. Dengan
demikian secara etimologis dakwah dan tabligh berarti suatu proses penyampaian
pesan-pesan yang berupa ajakan tersebut. (Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah.
Jakarta : Gaya Media Pratama, 1997. Cet. Ke-2 Hal 33-38).
Sedangkan ajaran agama islam yang tujuannya agar orang melaksanakan ajaran
agama dengan sepenuh hati. Di dalam kegiatan tabligh itu terdapat unsur-unsur
ajakan, seruan, panggilan, agar orang yang dipanggil berkenan mengubah sikap
dan perilakunya sesuai dengan ajaran agama islam yang dianutnya.
Pada dasarnya lapangan dakwah itu sangat luas sekali, meliputi
perikehidupan manusia itu sendiri. Lapangan dakwah meliputi semua aktivitas
manusia dalam hubungannya secara totalitas, baik sebagai individu, anggota
masyarakat, bahkan warga alam semesta. Bagi seorang muslim dakwah merupakan
kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kewajiban dakwah merupakan suatu
yang bersifat conditio sine quanon, tidak mungkin dihindarkan dari
kehidupannya. Dakwah karenan melekat erat bersamaan dengan pengakuan dirinya
sebagai seorang yang mengaku diri sebagai seorang muslim maka secara otomatis
pula ia menjadi seorang juru dakwah.
Merujuk pada surat Al-Asyr, merugilah orang islam yang tidak saling
berpesan tentang kebenaran dan kesabaran. Saling berpesan merupakan fungsi
dakwah dan kesabaran. Saling berpesan merupakan fungsi dakwah itu sendiri yaitu
suatu kontrol sosial yang disandarkan pada kebenaran, dengan disertai semangat
tetap konsisten, tahan uji dan sabar. Orientasi dakwah adalah penghargaan
kepada harkat dan derajat manusia, dimana bentuk dakwah mutlak menghargai
prinsip-prinsip humanisme.
Politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan
sifat pribadi atau sifat perbuatan. Disini politik berarti bertindak bijaksana
dan bijak. Kata lain adalah politics yang berarti seni atau ilmu tentang
pemerintahan. Politik
berasal dari bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics, yang
masing-masing bersumber dari bahasa Yunani τα πολιτικά (politika - yang
berhubungan dengan negara) dengan akar katanya πολίτης (polites - warga negara)
dan πόλις (polis - negara kota).
Secara etimologi kata "politik"
masih berhubungan dengan polisi, kebijakan. Kata "politis" berarti
hal-hal yang berhubungan dengan politik. Kata "politisi" berarti
orang-orang yang menekuni hal politik.
Lalu bagaimana dengan problematika
dikaitkan dengan radikalisme?
BANGKITNYA gerakan radikalisme agama dewasa
ini, secara historis sulit dilepaskan dari reaksi negatif atas gelombang
modernitas yang membanjiri negara-negara Muslim pada awal abad ke-20. Pengaruh
modernitas ini bukan hanya pada dimensi kultural, tetapi juga dimensi
struktural-institusional, seperti sains dan teknologi serta instrumen modern
lainnya, khususnya pandangan mengenai kesadaran kebangsaan yang melahirkan
konstruksi negara-bangsa modern.
Reaksi tersebut muncul akibat
ketidakmampuan kultur masyarakat merespons nilai-nilai dan norma-norma baru
yang diusung gelombang modernitas ini. Tidak seperti di negara-negara Eropa
Barat di mana kesadaran nasional berakar, tumbuh, dan berkembang dari perlawanan
terhadap kekuasaan feodal dan negara absolut, gelombang nasionalisme di Asia,
Afrika, dan negara-negara Muslim di Semenanjung Arab, Timur Tengah, lahir
justru dari perlawanan terhadap kolonialisme Eropa.
Situasi itu tentu saja membawa dampak traumatis
sehingga hadirnya ideologi nasionalisme di negara-negara Muslim mengalami
ketegangan yang tajam, bahkan perlawanan dari unsur-unsur pembentuknya. Di
samping realitas masyarakatnya yang sangat plural, dipertentangkannya konsepsi
negara-bangsa sekuler modern dengan universalisme tatanan berdasar agama, telah
mempertajam ketegangan dan benturan politik-ideologis yang menghambat
perkembangan kesadaran kebangsaan.
Akibatnya, konstruk negara-bangsa modern di
negara-negara Muslim umumnya mengalami delegitimasi dan ancaman terus-menerus.
Dan, kondisi ini diperparah oleh krisis yang dialami negara-bangsa sendiri
berikut kelemahan-kelemahannya yang mendasar, serta kenyataan akan minimnya
basis kultural bagi terbentuknya civil society modern dalam masyarakat.
Krisis negara-bangsa umumnya dipicu oleh
fakta bahwa ia lebih berperan sebagai "Republic of Fear", meminjam
istilah Samir al-Khalil, yang melakukan pemaksaan dan penyeragaman seluruh
entitas etnis dan budaya lokal dalam entitas lain yang bernama "identitas
nasional", hal mana telah mengakibatkan legitimasi negara-bangsa begitu
lemah.
Demikian juga kenyataan sosial yang sangat
plural dan tanpa kesadaran berdemokrasi telah menciptakan persaingan
antar-etnis, dan sektarianisme yang tak terelakkan untuk memperebutkan akses
politik dan ekonomi. Celakanya, civil society sebagai komunitas politik di mana
masyarakat membagi norma-norma dan nilai-nilai guna membangun konsensus bersama
atas dasar kemajemukan, kebebasan, dan kesetaraan, ternyata demikian rapuh.
Konsekuensinya, ketidakmampuan
negara-bangsa menyemai kondisi-kondisi politik yang demokratis dan
menyelesaikan krisis ekonomi serta ketidakadilan sosial telah membangkitkan
frustrasi masyarakat. Situasi demikian tak pelak ikut melahirkan gerakan
fundamentalisme agama yang lebih bersifat ideologis dan politis untuk
mendelegitimasi negara-bangsa dan menggantikan tatanan maupun nilai-nilai
demokrasi "sekuler", yang dianggap sebagai biang berbagai krisis
tersebut, dengan tatanan Islam. (Bassam Tibi, 1998)
RADIKALISME agama sebagai fenomena yang
hangat diperbincangkan akhir-akhir ini, terutama dengan maraknya sejumlah
"laskar" atau organisasi berlabel agama yang diduga menciptakan
kekacauan dan teror, eksistensinya sulit dipisahkan dari faktor-faktor tersebut
di atas: krisis kebangsaan dan minimnya basis kultural demokrasi.
Krisis kebangsaan ini dibuktikan dengan
kenyataan bahwa kesadaran nasional mengenai "Indonesia" lebih dominan
dibangun oleh perekat politik ketimbang perekat budaya. Negara (state) dalam
hal ini demikian memonopoli penciptaan idiom-idiom "identias
nasional" tanpa memberi ruang bagi budaya dan entitas lokal untuk memaknai
kebangsaannya.
Pola penyeragaman demikian itu, khususnya
pada masa pemerintahan Orde Baru, telah mengebiri dan memandulkan proses kreativitas
dan emansipasi kesadaran masyarakat. Lalu, ketika keran kebebasan dan
demokratisasi terbuka lebar, tuntutan akan pemberdayaan dan partisipasi politik
rakyat makin membesar, dan seiring dengan itu muncul pula gerakan penegasan
identitas komunal masyarakat, seperti etnisitas, budaya lokal, dan terutama
gerakan fundamentalisme agama.
Meski demikian, ketidakadilan sosial dan
krisis negara-bangsa ini bukanlah faktor tunggal suburnya gerakan-gerakan
radikalisme agama. Ada faktor terpenting yang tidak bisa diabaikan, sebagaimana
diutarakan Ketua PBNU, Hasyim Muzadi, beberapa hari lalu (Kompas, 3/11/2002),
yaitu penerapan ajaran-ajaran agama yang mengabaikan aspek sosio-kultural
masyarakat setempat.
Penolakan total terhadap tradisi lokal,
sekaligus pada perkembangan modernitas dengan tanpa mengadaptasikan ajaran
agama dengan kebutuhan sejarah dan konteks sosial, pada akhirnya melahirkan
sikap eksklusif dan pandangan ekstrem dalam beragama.
DALAM perspektif historis, radikalisme
agama di Tanah Air adalah warisan dari ketidakmampuan sebagian kelompok Islam
menegosiasikan dogma dan doktrin keagamaannya dengan realitas sosial dan
kebutuhan masyarakat tentang pentingnya wawasan kebangsaan sebagai entitas yang
menjamin pluralisme. Antagonisme politik dan ideologis antara Islam dan negara
ini, dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan, ketika elite politik
terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka.
Kendati ada upaya mencari jalan keluar dari
ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik,
dan simbolistik masih berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa
pertama pemerintahan Orde Baru. (Bahtiar Effendy, 2001)
Namun demikian, tanpa mengabaikan arus
transformasi intelektualisme baru Islam dewasa ini, proses
"reproduksi" Islam radikal pun terlihat tidak pernah surut. Hal ini
terutama tampak pada tema-tema ideologis yang diusung kalangan Islam radikal
yang "lebih vulgar", yang memfokuskan gerakannya pada empat agenda
utama: mendirikan negara Islam dan menegakkan syariah, seraya menolak demokrasi
dan kepemimpinan perempuan. Hebatnya, gerakan para aktivis Islam radikal ini
telah memasuki ruang beberapa partai-partai politik Islam di Tanah Air. (Lihat
penelitian Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis
Keras di Indonesia, 2002)
Di sini tampak jelas bahwa sebagian
kalangan Islam masih memosisikan secara dikotomis dan antagonistik antara Islam
dan kebangsaan, dan menolak sintesis yang memungkinkan antara agama dan negara
dalam kehidupan politik.
Selain itu, akibat dari pemahaman keagamaan
yang simbolistik ini, nilai-nilai universal demokrasi, seperti: kebebasan,
kesetaraan, pluralisme, dan hak asasi manusia belum dipahami sebagai bagian
inheren dari pesan-pesan profetis agama. Sebagaimana hal ini ditunjukkan secara
tegas dari upaya mereka menuntut formalisasi syariah dalam hukum dan
perundang-undangan negara.
DEMIKIANLAH, sesungguhnya banyak faktor dan
penyebab yang memungkinkan suburnya gerakan radikalisme agama di Tanah Air.
Pemahaman keagamaan yang ekslusif, skripturalis, dan miskinnya kesadaran
sejarah dalam penafsiran teks-teks kitab suci, telah mewariskan sikap-sikap
yang fanatik, dogmatik, dan intoleran dalam menyikapi perkembangan global.
Di sisi lain, ketidakpuasan terhadap
kebijakan politik negara-bangsa modern yang dominatif dan manipulatif, berikut
krisis yang diakibatkannya, telah menjadi tempat persemaian paling strategis
bagi gerakan ini.
Akhirnya, dengan memahami kompleksitas
masalah yang melatarbelakanginya, kita sangat berharap gerakan radikalisme
agama dapat diatasi secara tegas dan komprehensif tanpa mengorbankan proses
demokratisasi yang kini tengah berlangsung di depan mata.
Kalangan Agama Perlu Selesaikan Problem Kebangsaan
Jakarta, Kompas - Agamawan perlu mencari landasan yang sama dan
menemukan musuh bersama untuk menyelesaikan problem kebangsaan. Musuh bersama
itu bukan pemeluk agama lain, tetapi masalah kemanusiaan dan kebangsaan yang
menyengsarakan rakyat.
Hal ini disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din
Syamsuddin dalam dialog keumatan dengan tema ”Kontribusi Umat Beragama bagi
Kesejahteraan Bangsa dan Perdamaian Dunia” di Jakarta, Kamis (18/9).
Dialog yang diselenggarakan Partai Keadilan Sejahtera ini juga
menghadirkan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Andreas Yewangoe dari Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia, Sekjen Indonesia Community for Religion and Peace
Theophilus Bela, Sekretaris Parisada Hindu Dharma Indonesia I Ketut Parwata,
dan WS Asumtapura dari Masyarakat Thionghoa Indonesia sebagai pembicara.
”Kalangan agama harus bergerak mengatasi masalah dunia dan bangsa
ini. Apalagi, disadari bahwa politik saja tidak bisa sendiri menyelesaikan
masalah kebangsaan sekarang,” ujarnya.
Menurut Din, dialog antar-agama tetap diperlukan meskipun sering
muncul sikap sinisme dari masyarakat yang meragukan efektivitas dialog karena
masih ada ketegangan dan konflik.
”Namun, secara berseloroh saya mengatakan, ada dialog saja sering
konflik, apalagi kalau tidak ada. Namun, dalam konteks Indonesia, dialog
merupakan keniscayaan,” ujarnya.
Apalagi, menurut Din, agama di Indonesia pernah berperan sebagai
penyelesai masalah meski sekarang agak kurang. Bahkan, agama menjadi bagian
dari masalah karena menjadi pembuat masalah.
Dalam sambutan pembukanya, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
Mahfudz Sidiq mengatakan, tokoh agama punya kemampuan untuk mengubah bangsa
ini. Apalagi, ketika politisi tidak bisa menyelesaikan problem bangsa sendiri.
”Kita melihat politisi saat ini banyak disorot soal penyimpangan, bukan
prestasi. Ini tentu membuat makin banyak warga masyarakat kecewa,” ujarnya.
Dalam konteks kebangsaan, Hidayat mengatakan, Indonesia sudah
memiliki etika kehidupan berbangsa dan visi Indonesia masa depan. Etika yang
sudah dituangkan dalam Tap MPR itu sangat menekankan pentingnya religiusitas.
Menurut Hidayat, tak ada ajaran agama mana pun yang mengajarkan
korupsi. Karena korupsi telah membuat malu anak bangsa terhadap bangsa
Indonesia, cukup alasan untuk dijadikan musuh bersama.
”Keberagamaan kita saat ini punya agenda besar untuk menyelesaikan
masalah bangsa. Komitmennya untuk kemaslahatan bangsa,” ujarnya.
Yewangoe mengatakan, lembaga keagamaan tidak mau diidentikkan
dengan satu partai tertentu. Agama dalam substansi pasti baik. Namun, dalam
penampakan sejarah, selalu saja ada jurang dari yang semestinya dilakukan dan
kenyataan yang dilakukan.
Dari beberapa perspektif dan berbagai
sumber maka, dapat dikatakan bahwa problematika kebangsaan dapat diselesaikan
dengan tujuan demi kemaslahatan bangsa maka akan ditemukan cara-cara tertentu
yang disesuaikan dengan ideology Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani Roeslan. Pancasila Perjalanan Sebuah Ideologi. Grassindo: Jakarta, 1998
Armstrong Karen, Muhammad. A
Biography of The Prophet. Gutternberg
Project, 2000
Barber Benjamin R. Jihad v MC World : Fundamentalisme, Anarkisme Barat dan
Benturan Peradaban. Pustaka Promethea: Surabaya, 2002
Bruce B Lawrence. Menepis
Mitos, Islam di Balik Kekerasan. Serambi Ilmu Semesta: Jakarta,
2000
Dault, Adhyaksa. Islam
& Nasionalisme, Reposisi Wacana Universal dalam Konteks Nasional.
Yadaul : Jakarta, 2003
Huntington Samuel P. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Pustaka Utama Grafiti: Jakarta,
1995
Koto, Samuel. Pluralitas dan Demokrasi, 2002
Prasodjo Imam B. The End of Indonesia? : Kompas, 2002
Tasmara Toto. Komunikasi Dakwah. Gaya Media Pratama: Jakarta, 1997
Tiara. Ancaman Fundamentalisme Wacana, Rajutan Islam Politik dan Kekacauan
Dunia Barat. Jakarta,
2000
UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2
Watson C.W. Margono. Rahmani Muhajir Arif.
Membaca A.M. Fatwa Perubahan dan
Konsistensi. Teraju (PT Mizan Publika): Jakarta, 2008
Yatim Badri. Soekarno, Islam dan Nasionalisme. Logos: Ciputat, 1999
Zada Khamami. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia. 2002